
Image by unsplash
….
Aku melihatnya. Pada hari itu, sebuah peristiwa yang benar-benar menjadi mimpi buruk baginya. Padahal, hari itu seharusnya menjadi hari yang sangat indah baginya.
Bagaimana tidak?
Aku melihat sosoknya yang begitu cantik dibalut gaun putih bertabur mutiara dan manik, yang membuatnya tampak seperti bidadari. Senyumnya mengembang, tetapi terkadang ia terlihat khawatir kala melihat riuhnya para tamu undangan yang duduk di kursi-kursi. Ah, ya, dia sedang menunggu pangerannya, yang akan membawanya ke dalam istana kerjaan. Dan aku, hanya ingin ikut berbahagia, sebagai seorang pengagum rahasianya.
Tetapi siapa yang tahu, bahwa hari itu adalah hari yang paling buruk baginya…mungkin. setelah menungu berjam-jam, sang pangeran tak jua datang, hingga membuat semua orang mulai cemas, termasuk dirinya. Dan sesuatu yang ditunggu pun akhirnya datang, bukan sang pangeran, melainkan hanya kabar tentangnya. Kabar yang membuat banyak orang terkejut tak percaya, bahwa sang pangeran telah tiada, diambil yang kuasa, lewat tragedi menyedihkan yang menimpanya.
Bisa kau bayangkan bagaimana dirinya saat itu?
Aku yakin, kau pasti bisa menebaknya.
Hancur bagai kepingan cermin, rontok menjadi butiran dan jatuh ke tanah.
Sejak saat itu, senyuman hampir tak pernah lagi menghiasi wajahnya. Awan hitam mengelilinginya, karena langit yang biru tak kunjung muncul lagi.
…
Kulihat ke arah jendela, sinar matahari mulai menjelajahi semesta, begitu terangnya. Dia tetap bagai penuh keceriaan. Namun, yang harus kau tahu adalah, sinar itu tetap tidak bisa menerangi satu ruang di tempatku tinggal. Ruangan yang sedang kutuju, yaitu ruangan seorang gadis yang bisa disebut sebagai “si mawar rapuh”.
Sembari bersiul, kulangkahkan kaki pada salah satu pintu sebuah kamar. Kutempelkan sejenak telinga ke permukaan pintu tersebut, untuk memeriksa suara yang bertanda kalau-kalau dia sudah bangun. Ah, sepertinya dia belum terbangun.
Segera kuketuk pintu itu, dengan tujuan untuk membangunkan penghuni ruang yang masih terlelap. Dia harus menikmati sarapan pagi denganku. Wajib. Tak lama, muncul seorang perempuan dengan rambut bergelombang yang terurai, dengan lesung pipi, dari balik pintu. Dia tersenyum tipis saat melihatku.
“Sarapan sudah siap, Nona,” ujarku, bergaya gagah ala aktor Hollywood.
Dia mengangguk, izin merapikan rambut sebentar, lalu mengikutiku ke dapur. Bersiap menyantap sesuatu yang terhidang di meja makan. Kuperhatikan caranya makan, sungguh manis. Pelan dan rapi. Dia mengarahkan pandangannya ke arahku, dengan alis tertaut. Mungkin risih karena terus kutatap.
Lalu dia mulai memasang muka masam, yang bagiku sangat lucu dan menggemaskan.
Dia adalah perempuan yang gagal hidup bersama pangeran impiannya, yang kumaksud tadi. Dia telah kehilangan sang pangeran karena takdir, hingga membuat dia mengalami luka yang seakan abadi. Depresi, bahkan bisa disebut begitu.
Bahkan sering kutemui dia menenggak alkohol secara diam-diam, di dalam singgasananya. Tatapannya selalu sayu, seperti awan gelap yang menggantung di angkasa, yang sebentar lagi menguyurkan tangis. Tetesan air mata yang sering mengalir, lamunan, adalah hal yang biasa kulihat dari dirinya setiap hari.
Itu membuat rasa bersalahku semakin besar.
…atas semua yang telah kulakukan.
…
Tetapi, hari ini dia belum kembali pulang, ke tempat di mana aku dan dia hidup seatap. Dia hanya bilang ingin membeli kue kesukaannya di toko seberang jalan. Tetapi, entah ketika waktu sudah menujukkan bahwa telah lima jam dia pergi keluar, dia belum juga kembali. Aku mencoba menghubunginya lewat alat komunikasi berbentuk pipih-persegi, tetapi aku melihat alat komunikasi serupa yang merupakan miliknya, tertinggal di meja ruang tamu.
Aku yang mulai merasa cemas, segera mencari ke toko-toko di seberang jalan, bertanya pada orang-orang tentang perempuan ayu dengan rambut disanggul, serta berbalut gaun merah. Namun, tak juga kutemukan dia hingga menjelang senja.
Aku semakin bimbang tentangnya.
Mungkinkah…ah, tidak! Itu tidak akan terjadi!
Aku mempercepat langkah menelusuri setiap sudut kota, untuk mencari si mawar rapuh. Dia harus kutemukan, bagaimanapun caranya. Tetapi sekalipun langit telah menggelap yang menandakan bahwa sang malam akan segera tiba, dia tak juga kutemukan. Hingga di suatu persimpangan jalan, aku terpaksa harus menghentikan laju roda empat, karena adanya sebuah keriuhan tak biasa orang-orang di depan sana.
Aku turun dari roda empat, untuk melihat apa yang terjadi. Dan hasil dari rasa ingin tahuku itu ternyata sangat mengejutkan. Di antara kerumunan orang, kulihat seorang perempuan yang tak asing, sedang terbaring tak sadarkan diri di atas jalanan.
Apa yang terjadi?!
Beberapa puluh menit kemudian, aku telah sampai di dalam sebuah ruangan bernuansa warna putih, duduk sendirian di samping seorang wanita yang sedang terbaring tak sadarkan diri, dengan beberapa peralatan medis di tubuhnya. Tetapi, aku tak perlu terlalu khawatir, karena napasnya masih terdengar, detak jantungnya belum hilang, suhu tubuhnya masih hangat. Tanda bahwa dia masih ada di dunia ini, dan itu artinya, aku masih bisa hidup bersamanya.
Kupandangi wajahnya, dengan rasa sedih sekaligus bersalah. Sering aku berpikir, andai waktu dapat diulang, aku tidak pernah ingin mengenalinya. Karena bagiku, pertemuan dengannya adalah sebuah kekeliruan, yang membuatku begitu berambisi untuk memiliki dia seutuhnya.
Ah, tangannya terlihat bergerak. Beberapa saat kemudian, matanya terbuka perlahan, dan menoleh ke arahku. Tetapi reaksinya sungguh tak terduga, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar, berteriak berkali-kali dengan lengkingan yang mencekam.
“Pembunuh!! KAU PEMBUNUH!!”
Lalu dia memberontak dari tempat pembaringan, membuat peralatan medis di tubuhnya terlepas secara paksa satu persatu.
Deg
Jantungku berdegup kencang, lalu para petugas medis berdatangan untuk menangani dia yang mengamuk.
Alangkah aku begitu menyesali, karena sejak saat itu, akal sehatnya telah hilang, dia terus tertawa dan menangis. Disusul dengan aku yang masuk ke balik jeruji besi, beberapa bulan kemudian, karena suatu kasus di masa lalu.
Kisah yang sungguh pahit. Andai aku bisa memprotes, aku ingin meneriaki dan mencaci orang yang menulis alur kisah hidupku yang durjana ini.
…
Kejam.
End.